Beberapa minggu terakhir, saya memang ingin sekali pergi ke
bioskop, khusus menonton film dengan genre drama. Harapannya, semoga saya bisa
mengolah diri agar bisa menjadi manusia yang lebih empati dan peka terhadap
keadaan sekitar.
Sore itu, suatu tawaran datang tak terduga dari seorang
kawan yang menawarkan tiket untuk menonton “Wonderful Life” yang diperankan
oleh Atiqah Hasiholan. Wah, rezeki memang tidak kemana. Setelah minggu lalu
batal menonton dengan seorang kawan yang lain, justru diganti dengan tawaran
yang sama.
Saya langsung mengiyakan, karena saya benar-benar ingin
menontonnya dengan sepenuh mood. Layar teater mulai terbuka, menyajikan seluruh
nama pemain dan crew yang terlibat dalam pembuatan film tersebut.
Film yang berjudul Wonderful Life ini adalah kisah nyata
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Kisahnya menunjukkan tentang
realitas kehidupan sebuah keluarga yang mana salah satu anggotanya mengidap
penyakit disleksia.
Jujur saja, saya baru tahu tentang dislekesia saat diawal
film yang memang dengan jelas memberikan informasi kepada para penonton tentang
definisi disleksia. Disleksia merupakan suatu penyakit yang menyerang seseorang
sehingga tidak dapat mendengar dan melihat dengan jelas.
Adalah Amalia (diperankan oleh Atiqah Hasiholan), seorang wanita
karir yang sangat cemerlang. Dia hidup bersama buah hatinya bernama Aqil (Sinyo) Mereka tinggal
bersama kedua orangtua dari suami Amalia yang sudah almarhum.
Hari-hari Amalia disibukkan oleh pekerjaannya sebagai CEO
dari sebuah perusahaan advertising yang didirikan bersama sahabatnya. Perusahaan
ini sedang bergerak maju karena kerja keras Amalia, sahabatnya, dan seluruh
karyawan.
Namun kehidupan Amalia di rumah tak sesukses karirnya di
kantor. Amalia tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan bapak mertuanya,
hal ini disebabkan oleh karakter mereka yang bertentangan dan keras kepala. Tidak
seperti ibu mertua yang sangat penyabar dan pengertian. Bapak mertua seakan
melimpahkan beban yang sangat berat di pundak Amalia.
Walhasil, hubungan keduanya terlihat sangat buruk
sepeninggal suaminya yang merupakan anak tunggal di keluarga tersebut. (Penulis
juga belum mampu menyimpulkan tali-tali dari setiap scene yang ditampilkan
karena daya persepsi penulis yang terbatas).
Hingga pada suatu hari, Amalia memutuskan untuk meninggalkan
rumah itu dengan mengajak serta anak lelakinya. (terus terang, pada scene ini
penulis beranggapan bahwa Amalia akan pergi minggat untuk selamanya, karena
penulis melihat ekspresi, dialog yang mengarah pada “pergi tak kembali”
Amaliadari rumah tersebut, namun rupanya perkiraan saya meleset).
Sosok Amalia yang perfeksionis menjadikan dirinya sebagai
wanita yang mandiri, tak ubahnya seperti wanita karir pada umumnya. Dengan kemandirian
tersebut Amalia bertingkah angkuh, hal ini ditandai saat Amalia berziarah ke
makam suaminya.Amalia berucap sedikit ketus pada penjaga makam. dia ingin keadaan makam selalu bersih, tanpa mau tahu apakah si penjaga sehat atau tidak.
Penulis yakin bahwa sikapnya tersebut karena terpengaruh dari
hubungannya dengan bapak mertua yang tidak harmonis dan “kejayaannya” di
kantor, dua hal yang kontradiktif tapi cukup beralasan jika dirinya bersikap
demikian.
Kembali pada focus anak lelakinya yang berusia 7 tahun. Hari
itu, Amalia dipanggil pihak sekolah untuk membahas tentang kegiatan belajar di
kelas, guru kelas tampak memberi penjelasan bahwa “prestasi” putranya di
sekolah cenderung menurun, hal ini menyebabkan nilai-nilai mata pelajaran juga
tidak sesuai dengan “target” nilai yang sudah ditentukan.
Amalia merasa heran, kemudian bertanya penasaran kepada sang
guru; “Masa semua pelajaran menurun nilainya, pasti ada pelajaran yang dia
sukai dong?” begitu selidik Amalia. Iya, ada bu. Itu pelajaran
menggambar, jawab sang guru singkat.
Amalia masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Penjelasan
sang guru tentang keadaan putranya di kelas, membuatnyaberpikir keras untuk
mencari solusi.
Akhirnya, Amalia memutuskan untuk pergi ke psikiater guna mencari
tahu apa yang sedang diderita oleh puteranya. Pulang ke rumah, bapak dan ibu
mertua menunggu hasil pertemuannya dengan psikiater.
Makan malam itu dihiasi oleh air mata Amalia yang tertahan
di ujung mata. Saat bapak mertua bertanya; penyakit apa yang diderita oleh
cucunya? – Amalia hanya menjawab bahwa putranya tidak sakit.
Keesokan hari di kantor, Amalia tidak sengaja mendengar
pembicaraan stafnya tentang pengobatan herbal yang berhasil menyembuhkan
anaknya itu. Merasa tertarik, Amalia lantas meminta alamat tempat yang dimaksud
oleh staf tersebut.
Petualangan Amalia dan putranya pun dimulai. (Penulis merasa
sedang berkelana bersama Amalia dan putranya, karena melihat panorama alam
pedesaan yang menyejukkan pandangan). Putranya tampak senang karena uminya
(panggilan Amalia) mengajaknya jalan-jalan, jauh meninggalkan kota metropolitan
yang bising.
Amalia menyusuri desa-desa terpencil untuk menemukan alamat
yang tertulis, namun apa daya yang ia temukan justru metode pengobatan yang
tidak sesuai dengan harapan. Aneka macam “tabib” desa pun ia telah jumpai,
dengan hasil yang sama bahwa putranya hanya kurang nafsu makan dan berolahraga.
Ketangguhan Amalia diuji coba pada keadaan ini, dimana dia
harus bersabar diri menghadapi orang-orang diluar dugaan. Meskipun demikian,
Amalia tetap menghargai mereka dengan mendengarkan saran-saran dan ramuan yang
harus diberikan kepada putranya.
Fokus Amalia pada penyembuhan putra semata wayang,
menjadikan dirinya harus memantau kantor dari jarak jauh, meskipun ada gadget
tetap saja sinyal menjadi dewa penyelamat yang sangat dibutuhkan saat itu.
Amalia tidak menginginkan sesuatu dipegang oleh orang lain, meskipun partner
kerja sendiri. Bukan masalah kepercayaan atau yang lain, tapi integritasnya
pada suatu pekerjaan memaksa dia harus bisa memutuskan dengan cermat.
Selama perjalanan “petualangan” berlangsung, pada sosok
Amalia ditampilkan sebagai sosok ibu yang mulai membuka hati untuk lebih bisa
memahami dan mengenal putranya sendiri. Hilang sudah sifat keras kepala dan
obsesif.
Sampai sebuah kejadian membbuat Amalia mengubah cara pandang
hidup, terlebih terhadap buah hatinya. Kisahnya adalah saat Amalia berada di
sebuah hotel tempat ia menginap, sebelum check out ia menanyakan alamat yang
akan ia tuju kepada resepsionis hotel. Sayangnya, alamat yang dituju dikabarkan
tidak lagi praktek, karena tabib yang dimaksud adalah seorang penipu.
Si resepsionis memberikan alternatif lain, karena si tabib
terbilang sakti. Maka Amalia memutuskan untuk mendatangi alamat yang baru saja
diberikan. Perjalanan masih sama seperti sebelumnya, perkampungan yang sepi
tapi juga indah karena dikelilingi oleh pepohonan dan area persawahan.
Mobil yang dikendarai Amalia mendadak mogok, terpaksa ia
harus turun dan membetulkannya sendiri.
Apa mau dikata, usahanya tidak
berhasil, hingga sebuah mobil bak terbuka lewat, sang putra membehentikan mobil
bak tersebut. Singkat cerita, Amalia dan putranya menumpang mobil dan duduk di
belakang bersama aneka sayur mayor dan beberapa ekor kambing.
Sang putra merasa senang, tapi tidak dengan Amalia yang
ingin muntah berkali-kali mencium aroma binatang berkaki empat itu. Suasan
terlihat lucu dan menggemaskan antara hubungan emosional ibu dan anak. Penulis yang
menonton juga tersenyum geli dibuatnya.
Mereka pun tiba di tepian sungai, saat itu ada dua orang
laki-laki yang sedang santai berjaga. Si sopir mobil tadi berteriak kepada
keduanya “ada pelanggan, tolong antarkan!” - mendengar kata “pelanggan” sontak keduanya
sumringah dan mulai bernegosiasi. Setelah kesepakatan ongkos menyebrang
disetujui, Amalia dan putranya menaiki perahu kecil.
Lagi-lagi panorama alam menjadikan putranya seperti
seseorang yang berjiwa bebas, tidak terpenjara dalam tembok kelas. Sang putra
teramat senang bermain air, sesekali ia menyipratkan air sungai ke uminya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di tepian desa. Tak jauh dari
mereka berdiri tampak sebuah gubuk tua yang terkesan angker. Mau tak mau, Amalia
harus menemui si tabib demi kesembuhan putranya.
Si tabib tua membuka pintu dan mengatakan bahwa Amalia
merupakan tamu yang sudah ditunggu.
Setelah berbicara sedikit terkait dengan yang
diderita sang putra, si tabib menyarankan Amalia untuk membuak pakaian dan
menggantinya dengan jarit (jawa: kain batik). Amalia berkilah, bahwa bukan
dirinya yang harus menjalani ritual tapi putranya.
Si tabib pun tak menggubris. Amalia bergidik dan merasa
hilang akal saat itu dan melangkah ke sebuah bilik untuk mengganti pakaian,
namun saat tirai bilik itu dibukanya, Amalia terperanjat karena ia menyaksikan
ada sosok perempuan muda yang tengah hamil besar.
Secara spontan, Amalia membalikkan tubuhnya, dan berusaha
mengajak lari putranya yang sedang menggenggam boneka kayu “property” si tabib.
Putranya tak mau beranjak, dan membuat Amalia menjadi kesal. Diseretnya tangan
tersebut sampai depan pintu gubuk, dan memaksa agar si putra meninggalkan
boneka kayu itu. Amalia harus lari secepatnya, dengan sisa tenaga yang ada, ia
menarik kencang tangan si putra untuk kesekian kali agar bisa menjauh dari
gubuk tersebut.
Sang putra tak kuasa melanjutkan lari, karena dalam benaknya
ia masih menginginkan boneka itu. Amalia berteriak, pergi sana! Kembali lagi ke
gubuk itu kalau kamu tidak sayang umi. Sang putra dengan pelan menjawab
teriakan itu dengan sedikit gugup; apa-apa selalu umi, nggak pernah tanya
aku. Amalia merasa tercekat, kata-kata
putranya menghempaskan ia dari langit yang tinggi menuju ke bumi.
Mereka tak punya banyak waktu, upaya Amalia sepertinya akan
sia-sia jika hanya berdiri disana. Mereka berlari lagi sampai tiba di tepian
sungai saat mereka datang. Mereka berhasil menyebrangi sungai, tapi tak
berhasil kembali ke mobil karena hari sudah gelap.
Disanalah, momen dimana kesadaran dan kepekaan Amalia mulai
tumbuh. Aqil menyarankan agar umi dan dirinya beristirahat sambil
menunggu pagi di tepian sungai itu. Dengan dijaga oleh dua orang warga desa
yang merangkap sebagai penyewa perahu, Amalia pun mengiyakan.
Amalia dan Aqil duduk bersisian, sang anak bersandar
di bahu Amalia dan mengucapkan terim kasih banyak karena telah mengajaknya
jalan-jalan dan berpetualang. Sang putra sempat bertanya, mengapa ia tak dapat
menyaksikan indahnya malam dengan bintang-bintang di Jakarta, Amalia hanya
menjawab bahwa di Jakarta banyak polusi, jadi bintang-bintang tidak bisa
terlihat dengan jelas.
Malam itu merupakan malam keajaiban bagi Amalia. Dirinya tidak
lagi memikirkan pekerjaan, ia hanya bertekad untuk membahagiakan si buah hati
dengan segala minat dan potensi yang ada dalam dirinya. Amalia hanya butuh
sikap untuk menerima apa yang Tuhan berikan untuknya.
Perjalanan pulang dari petualangan telah mengubah Amalia, ia
memutuskan untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang bapak mertua. Ketangguhannya
selama ini ia buktikan dengan cara hidup berdua saja dengan sang buah hati, ia
ingin memberikan hal-hal yang belum dirasakan dan dinikmati sepenuhnya oleh
pangeran kecilnya.
Catatan kecil dari sebuah Wonderful Life
Sosok Amalia mengajarkan kita bahwa hidup dan kebahagiaan
memang harus diperjuangkan sampai titik maksimal, hingga tidak ada daya lain
selain berserah diri kepada Tuhan YME. Belajar menerima dengan ikhlas terhadap
segala pemberian Tuhan, meskipun kita tidak menyukainya, tapi justru itulah
yang terbaik dan menguji prasangka kita kepadaNya.
Segala usaha yang sudah dilakukan untuk mencari solusi bisa
ditempuh dalam berbagai cara, seperti Amalia yang menempuhnya dengan cara
ilmiah dan alamiah. Namun Tuhan juga Maha Segala Penentu. Amalia sosok ibu yang
luar biasa; kekuatan, ketangguhan, dan kelembutan bersatu padu dalam dirinya
sebagai sosok perempuan yang sempurna dalam memaksimalkan potensi dan anugerah
dari Tuhan.
*)Penulis akan merindukan kisah-kisah inspiratif dan undangan
lainnya untuk ditulis.