Sunday, October 30, 2016

Wonderful Life; keajaiban akan datang saat kita siap menerima apapun pemberian Tuhan dengan setulus hati



Beberapa minggu terakhir, saya memang ingin sekali pergi ke bioskop, khusus menonton film dengan genre drama. Harapannya, semoga saya bisa mengolah diri agar bisa menjadi manusia yang lebih empati dan peka terhadap keadaan sekitar.

Sore itu, suatu tawaran datang tak terduga dari seorang kawan yang menawarkan tiket untuk menonton “Wonderful Life” yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan. Wah, rezeki memang tidak kemana. Setelah minggu lalu batal menonton dengan seorang kawan yang lain, justru diganti dengan tawaran yang sama.

Saya langsung mengiyakan, karena saya benar-benar ingin menontonnya dengan sepenuh mood. Layar teater mulai terbuka, menyajikan seluruh nama pemain dan crew yang terlibat dalam pembuatan film tersebut.

Film yang berjudul Wonderful Life ini adalah kisah nyata yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Kisahnya menunjukkan tentang realitas kehidupan sebuah keluarga yang mana salah satu anggotanya mengidap penyakit disleksia.

Jujur saja, saya baru tahu tentang dislekesia saat diawal film yang memang dengan jelas memberikan informasi kepada para penonton tentang definisi disleksia. Disleksia merupakan suatu penyakit yang menyerang seseorang sehingga tidak dapat mendengar dan melihat dengan jelas.

Adalah Amalia (diperankan oleh Atiqah Hasiholan), seorang wanita karir yang sangat cemerlang. Dia hidup bersama buah hatinya bernama Aqil (Sinyo) Mereka tinggal bersama kedua orangtua dari suami Amalia yang sudah almarhum.

Hari-hari Amalia disibukkan oleh pekerjaannya sebagai CEO dari sebuah perusahaan advertising yang didirikan bersama sahabatnya. Perusahaan ini sedang bergerak maju karena kerja keras Amalia, sahabatnya, dan seluruh karyawan.

Namun kehidupan Amalia di rumah tak sesukses karirnya di kantor. Amalia tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan bapak mertuanya, hal ini disebabkan oleh karakter mereka yang bertentangan dan keras kepala. Tidak seperti ibu mertua yang sangat penyabar dan pengertian. Bapak mertua seakan melimpahkan beban yang sangat berat di pundak Amalia.

Walhasil, hubungan keduanya terlihat sangat buruk sepeninggal suaminya yang merupakan anak tunggal di keluarga tersebut. (Penulis juga belum mampu menyimpulkan tali-tali dari setiap scene yang ditampilkan karena daya persepsi penulis yang terbatas).

Hingga pada suatu hari, Amalia memutuskan untuk meninggalkan rumah itu dengan mengajak serta anak lelakinya. (terus terang, pada scene ini penulis beranggapan bahwa Amalia akan pergi minggat untuk selamanya, karena penulis melihat ekspresi, dialog yang mengarah pada “pergi tak kembali” Amaliadari rumah tersebut, namun rupanya perkiraan saya meleset).

Sosok Amalia yang perfeksionis menjadikan dirinya sebagai wanita yang mandiri, tak ubahnya seperti wanita karir pada umumnya. Dengan kemandirian tersebut Amalia bertingkah angkuh, hal ini ditandai saat Amalia berziarah ke makam suaminya.Amalia berucap sedikit ketus pada penjaga makam. dia ingin keadaan makam selalu bersih, tanpa mau tahu apakah si penjaga sehat atau tidak.

Penulis yakin bahwa sikapnya tersebut karena terpengaruh dari hubungannya dengan bapak mertua yang tidak harmonis dan “kejayaannya” di kantor, dua hal yang kontradiktif tapi cukup beralasan jika dirinya bersikap demikian.

Kembali pada focus anak lelakinya yang berusia 7 tahun. Hari itu, Amalia dipanggil pihak sekolah untuk membahas tentang kegiatan belajar di kelas, guru kelas tampak memberi penjelasan bahwa “prestasi” putranya di sekolah cenderung menurun, hal ini menyebabkan nilai-nilai mata pelajaran juga tidak sesuai dengan “target” nilai yang sudah ditentukan.

Amalia merasa heran, kemudian bertanya penasaran kepada sang guru; “Masa semua pelajaran menurun nilainya, pasti ada pelajaran yang dia sukai dong?” begitu selidik Amalia. Iya, ada bu. Itu pelajaran menggambar, jawab sang guru singkat.

Amalia masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Penjelasan sang guru tentang keadaan putranya di kelas, membuatnyaberpikir keras untuk mencari solusi.

Akhirnya, Amalia memutuskan untuk pergi ke psikiater guna mencari tahu apa yang sedang diderita oleh puteranya. Pulang ke rumah, bapak dan ibu mertua menunggu hasil pertemuannya dengan psikiater.

Makan malam itu dihiasi oleh air mata Amalia yang tertahan di ujung mata. Saat bapak mertua bertanya; penyakit apa yang diderita oleh cucunya? – Amalia hanya menjawab bahwa putranya tidak sakit.

Keesokan hari di kantor, Amalia tidak sengaja mendengar pembicaraan stafnya tentang pengobatan herbal yang berhasil menyembuhkan anaknya itu. Merasa tertarik, Amalia lantas meminta alamat tempat yang dimaksud oleh staf tersebut.

Petualangan Amalia dan putranya pun dimulai. (Penulis merasa sedang berkelana bersama Amalia dan putranya, karena melihat panorama alam pedesaan yang menyejukkan pandangan). Putranya tampak senang karena uminya (panggilan Amalia) mengajaknya jalan-jalan, jauh meninggalkan kota metropolitan yang bising.

Amalia menyusuri desa-desa terpencil untuk menemukan alamat yang tertulis, namun apa daya yang ia temukan justru metode pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan. Aneka macam “tabib” desa pun ia telah jumpai, dengan hasil yang sama bahwa putranya hanya kurang nafsu makan dan berolahraga.

Ketangguhan Amalia diuji coba pada keadaan ini, dimana dia harus bersabar diri menghadapi orang-orang diluar dugaan. Meskipun demikian, Amalia tetap menghargai mereka dengan mendengarkan saran-saran dan ramuan yang harus diberikan kepada putranya.

Fokus Amalia pada penyembuhan putra semata wayang, menjadikan dirinya harus memantau kantor dari jarak jauh, meskipun ada gadget tetap saja sinyal menjadi dewa penyelamat yang sangat dibutuhkan saat itu. Amalia tidak menginginkan sesuatu dipegang oleh orang lain, meskipun partner kerja sendiri. Bukan masalah kepercayaan atau yang lain, tapi integritasnya pada suatu pekerjaan memaksa dia harus bisa memutuskan dengan cermat.

Selama perjalanan “petualangan” berlangsung, pada sosok Amalia ditampilkan sebagai sosok ibu yang mulai membuka hati untuk lebih bisa memahami dan mengenal putranya sendiri. Hilang sudah sifat keras kepala dan obsesif.

Sampai sebuah kejadian membbuat Amalia mengubah cara pandang hidup, terlebih terhadap buah hatinya. Kisahnya adalah saat Amalia berada di sebuah hotel tempat ia menginap, sebelum check out ia menanyakan alamat yang akan ia tuju kepada resepsionis hotel. Sayangnya, alamat yang dituju dikabarkan tidak lagi praktek, karena tabib yang dimaksud adalah seorang penipu.

Si resepsionis memberikan alternatif lain, karena si tabib terbilang sakti. Maka Amalia memutuskan untuk mendatangi alamat yang baru saja diberikan. Perjalanan masih sama seperti sebelumnya, perkampungan yang sepi tapi juga indah karena dikelilingi oleh pepohonan dan area persawahan.
Mobil yang dikendarai Amalia mendadak mogok, terpaksa ia harus turun dan membetulkannya sendiri.

Apa mau dikata, usahanya tidak berhasil, hingga sebuah mobil bak terbuka lewat, sang putra membehentikan mobil bak tersebut. Singkat cerita, Amalia dan putranya menumpang mobil dan duduk di belakang bersama aneka sayur mayor dan beberapa ekor kambing.

Sang putra merasa senang, tapi tidak dengan Amalia yang ingin muntah berkali-kali mencium aroma binatang berkaki empat itu. Suasan terlihat lucu dan menggemaskan antara hubungan emosional ibu dan anak. Penulis yang menonton juga tersenyum geli dibuatnya.

Mereka pun tiba di tepian sungai, saat itu ada dua orang laki-laki yang sedang santai berjaga. Si sopir mobil tadi berteriak kepada keduanya “ada pelanggan, tolong antarkan!”  - mendengar kata “pelanggan” sontak keduanya sumringah dan mulai bernegosiasi. Setelah kesepakatan ongkos menyebrang disetujui, Amalia dan putranya menaiki perahu kecil.

Lagi-lagi panorama alam menjadikan putranya seperti seseorang yang berjiwa bebas, tidak terpenjara dalam tembok kelas. Sang putra teramat senang bermain air, sesekali ia menyipratkan air sungai ke uminya.

Tak lama kemudian, mereka tiba di tepian desa. Tak jauh dari mereka berdiri tampak sebuah gubuk tua yang terkesan angker. Mau tak mau, Amalia harus menemui si tabib demi kesembuhan putranya.
Si tabib tua membuka pintu dan mengatakan bahwa Amalia merupakan tamu yang sudah ditunggu.

Setelah berbicara sedikit terkait dengan yang diderita sang putra, si tabib menyarankan Amalia untuk membuak pakaian dan menggantinya dengan jarit (jawa: kain batik). Amalia berkilah, bahwa bukan dirinya yang harus menjalani ritual tapi putranya.

Si tabib pun tak menggubris. Amalia bergidik dan merasa hilang akal saat itu dan melangkah ke sebuah bilik untuk mengganti pakaian, namun saat tirai bilik itu dibukanya, Amalia terperanjat karena ia menyaksikan ada sosok perempuan muda yang tengah hamil besar.

Secara spontan, Amalia membalikkan tubuhnya, dan berusaha mengajak lari putranya yang sedang menggenggam boneka kayu “property” si tabib. Putranya tak mau beranjak, dan membuat Amalia menjadi kesal. Diseretnya tangan tersebut sampai depan pintu gubuk, dan memaksa agar si putra meninggalkan boneka kayu itu. Amalia harus lari secepatnya, dengan sisa tenaga yang ada, ia menarik kencang tangan si putra untuk kesekian kali agar bisa menjauh dari gubuk tersebut.

Sang putra tak kuasa melanjutkan lari, karena dalam benaknya ia masih menginginkan boneka itu. Amalia berteriak, pergi sana! Kembali lagi ke gubuk itu kalau kamu tidak sayang umi. Sang putra dengan pelan menjawab teriakan itu dengan sedikit gugup; apa-apa selalu umi, nggak pernah tanya aku.  Amalia merasa tercekat, kata-kata putranya menghempaskan ia dari langit yang tinggi menuju ke bumi.

Mereka tak punya banyak waktu, upaya Amalia sepertinya akan sia-sia jika hanya berdiri disana. Mereka berlari lagi sampai tiba di tepian sungai saat mereka datang. Mereka berhasil menyebrangi sungai, tapi tak berhasil kembali ke mobil karena hari sudah gelap.

Disanalah, momen dimana kesadaran dan kepekaan Amalia mulai tumbuh. Aqil menyarankan agar umi dan dirinya beristirahat sambil menunggu pagi di tepian sungai itu. Dengan dijaga oleh dua orang warga desa yang merangkap sebagai penyewa perahu, Amalia pun mengiyakan.

Amalia dan Aqil duduk bersisian, sang anak bersandar di bahu Amalia dan mengucapkan terim kasih banyak karena telah mengajaknya jalan-jalan dan berpetualang. Sang putra sempat bertanya, mengapa ia tak dapat menyaksikan indahnya malam dengan bintang-bintang di Jakarta, Amalia hanya menjawab bahwa di Jakarta banyak polusi, jadi bintang-bintang tidak bisa terlihat dengan jelas.

Malam itu merupakan malam keajaiban bagi Amalia. Dirinya tidak lagi memikirkan pekerjaan, ia hanya bertekad untuk membahagiakan si buah hati dengan segala minat dan potensi yang ada dalam dirinya. Amalia hanya butuh sikap untuk menerima apa yang Tuhan berikan untuknya.

Perjalanan pulang dari petualangan telah mengubah Amalia, ia memutuskan untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang bapak mertua. Ketangguhannya selama ini ia buktikan dengan cara hidup berdua saja dengan sang buah hati, ia ingin memberikan hal-hal yang belum dirasakan dan dinikmati sepenuhnya oleh pangeran kecilnya.

Catatan kecil dari sebuah Wonderful Life
Sosok Amalia mengajarkan kita bahwa hidup dan kebahagiaan memang harus diperjuangkan sampai titik maksimal, hingga tidak ada daya lain selain berserah diri kepada Tuhan YME. Belajar menerima dengan ikhlas terhadap segala pemberian Tuhan, meskipun kita tidak menyukainya, tapi justru itulah yang terbaik dan menguji prasangka kita kepadaNya.

Segala usaha yang sudah dilakukan untuk mencari solusi bisa ditempuh dalam berbagai cara, seperti Amalia yang menempuhnya dengan cara ilmiah dan alamiah. Namun Tuhan juga Maha Segala Penentu. Amalia sosok ibu yang luar biasa; kekuatan, ketangguhan, dan kelembutan bersatu padu dalam dirinya sebagai sosok perempuan yang sempurna dalam memaksimalkan potensi dan anugerah dari Tuhan.

*)Penulis akan merindukan kisah-kisah inspiratif dan undangan lainnya untuk ditulis.




No comments:

Post a Comment